PHK

Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan mengharapkan PHK sejauh mungkin dapat dihindari, tetapi dalam hubungan industrial tentu selalu terjadi interaksi antara pihak-pihak yang melakukan suatu kegiatan baik pekerja/serikat pekerja dengan Pengusahanya atau sebaliknya  Dalam melaksanakan hubungan kerja antara pemberi kerja/Pengusaha dan pekerja Tentu tidak dapat dihindari  akan memunculkan tindakan-tindakan yang dapat dikatagorikan suatu pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pekerjanya bahkan ujung-ujungnya dapat menjadi sebuah perselisihan.

Perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja dapat berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja bisa timbul akibat terjadinya salah satu pihak melakukan pengikaran terhadap terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) maupun pelanggaran terhadap perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaiannya persilisihan diperlukan aturan yang dibuat oleh para pihak (Serikat Pekerja dan Pengusaha) yang menjadi pedoman bagi semua pihak.. Kenyataan dilapangan ketika pada suatu  kondisi di tertentu Pengusaha/Perusahaan “terpaksa” melakukan PHK, baik karena alasan efisiensi maupun karena pekerjanya melakukan pelanggaran disiplin yang merugikan perusahaan. Apabila tidak ada kesepakatan dalam penetapan PHK, tentu masih  dapat ditempuh cara lain yang tidak menyulitkan baik terhadap Penguasaha maupun Pekerjanya  baik dalam prosedur maupun pemberian kompensasi PHK.

Mekanisme PHK sejak proses perundingan di tingkat perusahaan sampai ke tingkat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) diatur dalam UU No 2 Tahun 2004. Hal ini membutuhkan tahapan dan proses yang memakan waktu panjang, sehingga berpotensi merugikan kedua belah pihak karena beban finansial bagi pengusaha dan ketidakpastian status kerja bagi pekerja untuk memberikan kemudahan serta efisiensi waktu, dana maupun biaya sosial (social cost) lainnya. Dengan demikian sedapat mungkin perlu diupayakan mekanisme dan proses PHK yang lebih sederhana (misalnya mengedepankan perundingan di tingkat Bipartit). Hal yang lebih penting adalah pertimbangan prinsip keadilan dalam pemberian upah dan tunjangan selama dalam proses PHK (termasuk skorsing) serta dalam menentukan besarnya kompensasi pesangon terkait dengan alasan PHK.

Oleh karenanya  diperlukan penajaman hal-hal sbb : 

  1. Pembedaan mekanisme dan kompensasi PHK menurut alasan-alasa mengapa sesorang di PHK  terjadinya PHK, karena perbuatan kejahatan (pidana) dan / atau pelanggaran peraturan Perusahaan serta pelanggaran perjanjian kerja bersama (perdata) yang dilakukan oleh pekerja
.
  1. Penyempurnaan  agar prosedur dan mekanisme PHK lebih efisien.

  1. Penetapan skorsing beserta konsekwensinya dalam perjanjian kerja bersama (PKB) atau peraturan perusahaan yang lebih adil bagi semua pihak.
  2. Penyelesaian persoalan PHK diupayakan seoptimal mungkin melalui lembaga Bipartit dan atau perundingan di tingkat perusahaan.
Bagi pekerja kata PHK merupakan momok bagi pekerja, karena dirinya berfikir tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga terhadap istri dan anak/anak-anaknya. sementara bagi kepentingan pengusaha PHK selain karena dalam rangka penegakan peraturan disiplin yang ada dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), hal itu sesungguhnya juga merupakan pilihan yang tidak mudah dan memberatkan sehingga dikhawatirkan mengganggu proses produksi dan membuat iklim investasi menjadi tidak kondusif
Kompensasi terhadap seorang pekerja yang di PHK PHK tidak hanya sebatas hal tersebut diatas, konflik antara pekerja dan pengusaha bisa muncul terkait dengan kompensasi ini. Pekerja bisa menuntut kompensasi yang lebih (dan cenderung mengambil yang paling besar) dan pengusaha akan memilih kompensasi yang paling sedikit. Perbedaan pilihan jumlah kompensasi ini diakibatkan oleh adanya kata ‘paling sedikit’ di UU No.13/2003 Pasal 156 Ayat (2) yang bisa ditafsirkan secara berbeda antara pekerja dan pengusaha. Kata paling sedikit bisa menimbulkan konflik multi tafsir antara pekerja dan pengusaha. Sesuai dengan Ayat (2), pekerja bisa menuntut lebih dari ketentuan yang sudah ada .

Perbedaan kepentingan yang menyangkut kompensasi PHK ini juga muncul karena adanya perbedaan persepsi tentang uang pesangon. Pekerja yang di PHK biasanya dihadapkan dengan ketiadaan pekerjaan berikutnya maupun lamanya waktu menunggu pekerjaan yang baru. Dalam UU No. 13/2003, filosofi dan definisi uang pesangon tidak dicantumkan: apakah uang pesangon sebagai uang tunggu pekerjaan yang baru atau uang penghargaan masa kerja atau yang lainnya. Sebagai akibatnya, adanya perbedaan persepsi tentang uang pesangon dari pihak pekerja/buruh dan pengusaha, menyebabkan besaran (pengalian) pesangon terus diperdebatkan. Untuk itu diperlukan penjelasan tentang filosofi dan definisi yang jelas tentang uang pesangon sehingga dimungkinkan adanya reformulasi uang pesangon sesuai dengan kesepakatan.

Dalam UU No.13/2003 Pasal 161 Ayat (3) disebutkan bahwa pekerja yang
mengalami PHK karena melakukan pelanggaran perjanjian kerja masih memperoleh
kompensasi. Sedangkan untuk pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela
memperoleh kompensasi yang lebih rendah. Ketentuan ini dianggap tidak mendidik dan
kurang memenuhi rasa keadilan. seolah merupakan insentif bagi pekerja untuk melakukan
pelanggaran atau mendorong pekerja yang ingin mengundurkan diri untuk melakukan
pelanggaran. Oleh karena itu, seharusnya pekerja yang di PHK akibat melakukan
pelanggaran mendapatkan kompensasi yang lebih kecil dari pekerja yang mengundurkan
diri secara sukarela.
Besaran kompensasi PHK yang diatur dalam UU No 13/2003 dianggap
memberatkan pengusaha, sehingga banyak pengusaha melakukan pelanggaran karena tidak
mampu membayar kompensasi PHK. Seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, data
empiris menunjukkan bahwa besaran kompensasi PHK di Indonesia menempati posisi
tertinggi dibandingkanbeberapa negara Asia lainnya seperti China,Malaysia, India,
Philipina dan Thailand. Hal ini menyebabkan semakin banyak pengusaha cenderung
menggunakan tenaga kerja dengan sistem kontrak yang dianggap lebih efisien. Di sisi lain
kondisi ini tidak disukai pekerja karena tidak adanya jaminan kepastian kerja dan
kesejahteraan.